koronovirus.site – Laporan terbaru mengungkapkan bagaimana Israel menggunakan strategi digital dengan menggandeng influencer media sosial untuk membentuk opini publik terkait perang yang terus berlanjut di Jalur Gaza.
Menurut laporan Middle East Monitor, setiap influencer yang direkrut bisa menerima bayaran hingga US$7.000 atau sekitar Rp116 juta untuk setiap unggahan yang mendukung narasi pro-Israel. Langkah ini dianggap sebagai bagian dari upaya masif Israel dalam mempengaruhi wacana publik global yang kini semakin menyoroti tindakan militer mereka di Gaza.
Perang Opini di Era Digital
Israel diketahui meningkatkan intensitas operasi informasi di ruang digital ketika kritik internasional terhadap tindakan mereka di Gaza semakin meluas, termasuk tuduhan melakukan genosida terhadap rakyat Palestina.
Operasi ini memanfaatkan jaringan influencer berbayar, pengaturan algoritma media sosial, framing konten berbasis AI, hingga kemitraan dengan media tertentu yang dilakukan secara tertutup.
“Ruang digital adalah medan pertempuran terpenting saat ini,” kata Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, saat berbicara kepada para influencer Israel pekan lalu. “Anda tidak bisa lagi hanya berperang dengan pedang. Senjata paling efektif adalah media sosial.”
Proyek Rahasia dan Pembiayaan Fantastis
Informasi mengenai kampanye ini terungkap melalui dokumen yang diajukan berdasarkan Undang-Undang Pendaftaran Agen Asing (FARA) di Amerika Serikat.
Dokumen tersebut menunjukkan keterlibatan Kementerian Luar Negeri Israel yang melalui kontraktor Bridges Partners membayar influencer untuk membuat dan menyebarkan konten pro-Israel di platform populer seperti TikTok dan Instagram.
Menurut laporan dari Responsible Statecraft, kampanye yang diberi nama “Proyek Esther” itu memiliki anggaran sekitar US$900.000 atau Rp14,9 miliar. Dana tersebut digunakan untuk membayar antara 75 hingga 90 unggahan yang diproduksi dalam periode Juni hingga September 2024.
Menariknya, nama “Proyek Esther” juga digunakan oleh lembaga think-tank konservatif Amerika Serikat, Heritage Foundation, dalam kampanye mereka pada Oktober 2024 untuk melawan apa yang disebut sebagai retorika antisemitisme di kampus-kampus AS. Kedua inisiatif tersebut tidak berhubungan secara langsung, namun memiliki tujuan serupa: mengaitkan kritik terhadap kebijakan Israel dengan ekstremisme dan mendeligitimasi suara-suara yang mendukung Palestina.
Perusahaan Teknologi di Balik Kampanye
Laporan juga mengungkap peran perusahaan Clock Tower X LLC, yang menerima kontrak senilai US$6 juta dari pemerintah Israel.
Perusahaan ini ditugaskan tidak hanya untuk mempromosikan pesan pro-Israel kepada kalangan Generasi Z, tetapi juga mempengaruhi cara perangkat kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT memberikan jawaban atas pertanyaan terkait konflik Israel-Palestina.
Strategi ini dirancang agar AI lebih condong menyuarakan sudut pandang pro-Israel, bukan berdasarkan data yang netral, melainkan karena internet telah “dipenuhi” dengan narasi yang menguntungkan Israel.
Respon Global dan Kritik
Banyak pihak mengecam taktik ini sebagai bentuk manipulasi ruang informasi publik. Para pengamat menilai, kampanye tersebut menargetkan generasi muda yang lebih banyak mengakses informasi dari media sosial ketimbang dari media arus utama.
“Ini adalah bagian dari perang informasi yang berusaha mengubah persepsi publik, terutama di negara-negara Barat, agar lebih menerima tindakan militer Israel di Gaza,” ujar seorang analis media digital yang tidak ingin disebutkan namanya.
Kritik terhadap Israel semakin gencar setelah laporan lembaga internasional menuding mereka melakukan pelanggaran hukum humaniter dan menimbulkan krisis kemanusiaan di Gaza. Banyak organisasi HAM menilai penggunaan influencer untuk membenarkan operasi militer di wilayah yang dilanda perang sebagai praktik tidak etis.
Kekuatan Media Sosial sebagai Medan Perang
Dalam konteks konflik modern, media sosial memang menjadi medan penting untuk mempengaruhi opini publik global. Israel bukan satu-satunya negara yang memanfaatkan cara ini, tetapi laporan mengenai besarnya biaya yang digelontorkan memperlihatkan seberapa serius mereka dalam menguasai wacana daring.
Menurut para pengamat, langkah ini dapat menimbulkan dampak jangka panjang terhadap kualitas informasi publik karena menyamarkan propaganda sebagai opini atau konten netral di internet.
Tantangan bagi Ruang Informasi yang Netral
Fenomena ini juga memunculkan perdebatan tentang tanggung jawab platform digital dalam menjaga netralitas dan integritas informasi yang beredar. Banyak yang menyerukan agar TikTok, Instagram, dan platform lainnya lebih transparan dalam menandai konten yang disponsori oleh pihak politik atau pemerintah.
Sementara itu, masyarakat global diimbau untuk lebih kritis terhadap informasi yang muncul di linimasa media sosial, terutama dalam isu-isu sensitif seperti konflik bersenjata.
Kesimpulan
Pengungkapan pembayaran hingga Rp116 juta per postingan kepada influencer oleh pemerintah Israel memperlihatkan betapa besar pengaruh media sosial dalam konflik geopolitik masa kini.
Langkah ini menunjukkan pergeseran medan perang dari pertempuran fisik menjadi pertempuran narasi di ruang digital. Namun, bagi banyak pihak, strategi ini menimbulkan kekhawatiran mengenai etika dan masa depan kebebasan berekspresi di platform global.
“Pertarungan bukan lagi di medan perang, tetapi di ruang pikiran publik dunia,” demikian komentar seorang peneliti komunikasi politik mengenai tren ini.