koronovirus.site Isu penobatan raja baru di Keraton Kasunanan Solo kembali mencuri perhatian publik. Sosok yang disebut akan naik tahta adalah KGPAA Hamangkunagara Sudibya Rajaputra Narendra Mataram, putra mahkota yang selama ini dipandang sebagai penerus sah takhta Kasunanan. Penobatan ini dikabarkan akan dilakukan dalam waktu dekat dan menjadi tonggak penting dalam sejarah panjang kerajaan tersebut.
Namun, di tengah kabar tersebut, muncul pernyataan mengejutkan dari pihak lain di dalam keraton. Pihak Tedjowulan, yang selama ini juga mengklaim sebagai bagian dari otoritas kepemimpinan Kasunanan, mengaku tidak mengetahui agenda penobatan itu. Pernyataan ini menandakan bahwa perpecahan internal di tubuh Keraton Solo masih belum sepenuhnya berakhir.
Reaksi dari Pihak Tedjowulan
Melalui juru bicaranya, KP Bambang Ary Pradotonegoro, pihak Tedjowulan menyampaikan bahwa mereka sama sekali belum menerima pemberitahuan resmi mengenai acara tersebut. Ia bahkan mengaku baru mengetahui rencana penobatan raja baru dari pemberitaan media dan kabar yang beredar di kalangan aparat hukum.
“Belum mengetahui acara jumenengan PB XIV. Tidak ada informasi apapun selain dari media,” ujar Bambang. Pernyataan itu memperkuat kesan bahwa komunikasi antara dua pihak di dalam Kasunanan masih belum berjalan dengan baik.
Menurut Bambang, pihak Tedjowulan tetap berpegang pada keyakinan bahwa KGPA Tedjowulan masih sah sebagai pelaksana tugas raja atau “Panembahan Agung”. Oleh karena itu, setiap kegiatan besar yang menggunakan nama keraton seharusnya terlebih dahulu dikoordinasikan secara resmi agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Konflik Berkepanjangan di Dalam Keraton
Keraton Kasunanan Surakarta memang sudah lama terbelah dalam dua kubu. Satu pihak dipimpin oleh Tedjowulan, sedangkan pihak lainnya oleh Hangabehi, yang dianggap sebagai pewaris langsung. Konflik ini sudah berlangsung bertahun-tahun dan sering kali melibatkan klaim atas legitimasi, aset, hingga pengelolaan kegiatan budaya keraton.
Perpecahan ini berdampak besar terhadap citra dan kegiatan adat yang seharusnya menjadi simbol kebersamaan masyarakat Jawa. Banyak agenda adat dan upacara budaya yang sempat terhambat karena tidak adanya kesepakatan di antara dua pihak.
Beberapa kalangan bahkan menyebut bahwa perpecahan ini menggerus nilai-nilai luhur yang selama ini dijaga oleh keraton. Padahal, Kasunanan Surakarta memiliki peran penting sebagai pusat budaya Jawa dan simbol persatuan antara sejarah, adat, dan modernitas.
Makna Jumenengan dalam Tradisi Jawa
Upacara penobatan atau jumenengan memiliki makna mendalam dalam budaya Jawa. Prosesi ini bukan hanya pergantian simbolik, melainkan peristiwa spiritual yang menandai legitimasi seorang raja dalam memimpin rakyat dan menjaga warisan leluhur. Karena itu, setiap langkah dalam pelaksanaan jumenengan harus melalui musyawarah dan restu dari seluruh keluarga besar keraton.
Tanpa koordinasi dan kesepakatan bersama, penobatan dikhawatirkan tidak memiliki legitimasi penuh. Dalam konteks ini, ketidaktahuan pihak Tedjowulan menjadi tanda bahwa proses penobatan masih menyisakan persoalan serius di dalam internal keraton.
Harapan Akan Rekonsiliasi
Banyak tokoh budaya dan masyarakat Solo berharap agar momentum penobatan raja baru ini bisa menjadi jalan rekonsiliasi, bukan pemisah. Mereka berharap kedua pihak bisa duduk bersama untuk menegaskan kembali satu tujuan besar: menjaga kelestarian budaya dan marwah Keraton Kasunanan.
Keraton selama ini bukan hanya simbol kekuasaan, tetapi juga wadah pelestarian nilai-nilai luhur Jawa seperti gotong royong, kebijaksanaan, dan harmoni. Jika konflik terus berlanjut, dikhawatirkan generasi muda akan kehilangan keteladanan dari warisan budaya tersebut.
Reaksi Masyarakat dan Tokoh Budaya
Kabar mengenai penobatan raja baru ini juga mendapat tanggapan beragam dari masyarakat Solo. Sebagian mendukung langkah tersebut dengan harapan adanya stabilitas baru di dalam keraton. Namun, sebagian lainnya menilai bahwa penobatan tanpa kesepakatan semua pihak hanya akan memperpanjang konflik.
Beberapa tokoh budaya menilai bahwa pelaksanaan jumenengan seharusnya tidak dilakukan secara tergesa-gesa. Perlu adanya komunikasi menyeluruh agar prosesi ini memiliki kekuatan moral dan simbolik yang sah di mata masyarakat adat.
Posisi Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah hingga kini masih berhati-hati dalam menyikapi konflik internal di Keraton Kasunanan. Pemerintah tidak ingin dianggap ikut campur dalam urusan adat, namun tetap memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga kelestarian budaya.
Menurut sejumlah pejabat daerah, pemerintah hanya berperan memfasilitasi jika kedua belah pihak sepakat untuk berdialog. Upaya mediasi sudah pernah dilakukan sebelumnya, namun belum membuahkan hasil yang signifikan karena perbedaan pandangan soal legitimasi kepemimpinan.
Tantangan Ke Depan bagi Keraton Solo
Keraton Kasunanan menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan relevansi di tengah masyarakat modern. Selain konflik internal, tantangan lain datang dari menurunnya minat generasi muda terhadap tradisi. Tanpa persatuan di dalam tubuh keraton, pelestarian nilai-nilai budaya akan semakin sulit dilakukan.
Banyak pengamat menilai bahwa masa depan keraton sangat bergantung pada kemampuan para pemimpinnya untuk mengesampingkan ego dan kembali mengutamakan kepentingan budaya. Rekonsiliasi dianggap sebagai satu-satunya jalan agar keraton bisa kembali menjadi simbol kebanggaan masyarakat Jawa.
Penutup: Keraton dan Harapan Baru
Ketidaktahuan pihak Tedjowulan tentang rencana penobatan raja baru menjadi cermin bahwa komunikasi di dalam keraton masih terputus. Namun di sisi lain, kabar tentang jumenengan juga menunjukkan bahwa semangat untuk melanjutkan tradisi belum padam.
Masyarakat berharap agar momentum ini bisa menjadi awal kebangkitan baru bagi Keraton Kasunanan Solo. Dengan terbukanya ruang dialog dan keinginan untuk bersatu, keraton dapat kembali berperan sebagai penjaga nilai-nilai luhur Jawa dan perekat sosial masyarakat.

Cek Juga Artikel Dari Platform beritabandar.com
