koronovirus.site Anggota Fraksi PDI-P DPR RI, TB Hasanuddin, kembali menyoroti ketentuan mengenai larangan polisi aktif menduduki jabatan sipil. Menurutnya, putusan Mahkamah Konstitusi yang ditegakkan baru-baru ini sebetulnya tidak membawa aturan baru. Putusan tersebut hanya menegaskan kembali apa yang telah tercantum jelas dalam Undang-Undang Kepolisian.
Hasanuddin menilai bahwa pemerintah sebenarnya tidak perlu menunggu putusan MK untuk bertindak. Aturan mengenai larangan polisi aktif menduduki jabatan sipil sudah tertuang secara rinci dalam Pasal 28 UU Kepolisian. Bila sejak awal pemerintah mematuhi aturan ini, perdebatan di masyarakat tidak akan sepanjang sekarang.
Penempatan Polisi Aktif Dianggap Menyalahi Semangat Reformasi
Menurut Hasanuddin, aturan tersebut lahir dari semangat reformasi yang ingin menciptakan pemisahan fungsi antara sipil dan aparat penegak hukum. Polisi diberi mandat untuk menjaga keamanan dan ketertiban, bukan untuk mengelola jabatan administratif sipil. Pemisahan itu dirancang agar fungsi pemerintahan berjalan lebih akuntabel.
Penempatan polisi aktif di jabatan sipil dinilai bertentangan dengan prinsip dasar itu. Hal tersebut dianggap berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, terutama dalam kebijakan publik yang memerlukan sensitivitas terhadap suara masyarakat sipil. Selain itu, jabatan sipil membutuhkan pengalaman administratif dan birokratis yang berbeda dari struktur komando kepolisian.
Ketentuan larangan ini juga bertujuan menjaga profesionalitas Polri. Jika polisi aktif terlalu sering ditempatkan di jabatan luar tugas pokok, konsentrasi dan kualitas kinerja institusional dapat tergerus.
Putusan MK Bukan Regulasi Baru, Melainkan Pengingat
Putusan MK yang kembali menegaskan larangan tersebut menjadi sorotan publik. Namun bagi Hasanuddin, putusan tersebut hanyalah pengulangan dari aturan yang sudah lama berlaku. MK hanya mempertegas kembali bahwa ketentuan larangan tersebut masih relevan dan harus dijalankan.
Ia menilai putusan ini ibarat “pengingat keras” kepada pemerintah. Bila aturan sudah tertulis jelas dalam undang-undang, maka kewajiban pemerintah adalah mematuhinya. Mengabaikan ketentuan tersebut sama saja dengan mengabaikan amanat reformasi.
Putusan MK menjadi momentum untuk memastikan regulasi dijalankan secara konsisten. Pemerintah diminta tidak lagi membuat pengecualian yang bisa membuka celah penyimpangan.
Kritik atas Ketidakkonsistenan Pemerintah
Dalam pernyataannya, Hasanuddin menyoroti bahwa praktik penempatan polisi aktif di jabatan sipil masih kerap terjadi. Beberapa posisi strategis di lembaga tertentu dipimpin oleh perwira aktif, meski aturan secara tegas melarang hal itu.
Kondisi tersebut dianggap mencerminkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam mematuhi undang-undang. Padahal, konsistensi menjadi bagian penting dari negara hukum. Bila pemerintah saja tidak disiplin menjalankan regulasi, masyarakat juga akan sulit dituntut untuk patuh.
Ia menilai problem ini muncul karena interpretasi pemerintah yang terlalu longgar terhadap ketentuan UU. Alasan kebutuhan jabatan atau kekosongan SDM sering digunakan sebagai dasar penempatan polisi aktif. Padahal solusi seharusnya ditemukan dalam ranah sipil, bukan dengan mengalihfungsikan aparat aktif.
Respons Publik dan Kalangan Akademisi
Perdebatan mengenai polisi aktif di jabatan sipil bukan isu baru. Akademisi, pengamat hukum, hingga pegiat reformasi pernah menyampaikan keberatan. Mereka menilai bahwa pelaksanaan aturan sering tidak sejalan dengan semangat reformasi yang menginginkan pemisahan tegas antara militer, kepolisian, dan sektor sipil.
Kalangan akademisi juga menekankan bahwa jabatan sipil harus diisi oleh ASN atau pejabat profesional yang berasal dari jalur birokrasi sipil. Rekrutmen yang tidak sesuai jalur dinilai berpotensi mengurangi objektivitas dalam pengambilan keputusan publik.
Selain itu, kekhawatiran muncul bahwa aparat aktif yang menduduki jabatan sipil dapat membawa kultur komando ke dalam birokrasi. Padahal birokrasi sipil memiliki karakter yang berbeda, dengan sistem pelayanan yang lebih berorientasi kepada publik.
Konteks Historis Mengapa Aturan Ini Dibuat
Larangan dalam UU Kepolisian tidak lahir tanpa alasan. Pada masa sebelum reformasi, aparat militer dan polisi sering mengisi jabatan sipil. Praktik itu dinilai menghambat demokratisasi dan menyebabkan rendahnya akuntabilitas pemerintahan.
Reformasi kemudian mendorong pemisahan institusi dan menjamin bahwa setiap sektor memiliki fungsi masing-masing. Polisi difokuskan pada penegakan hukum, sementara jabatan sipil dikelola oleh unsur pemerintahan sipil. Dengan pemisahan itu, diharapkan pemerintahan lebih profesional dan terbuka terhadap kritik.
Kembalinya polisi aktif ke posisi sipil dikhawatirkan menyeret Indonesia kembali ke pola lama yang ingin dihindari.
Tuntutan agar Pemerintah Konsisten dan Tegas
Hasanuddin menekankan pentingnya ketegasan pemerintah dalam mematuhi undang-undang. Dengan adanya putusan MK yang kini menjadi sorotan nasional, pemerintah tidak lagi punya ruang untuk menafsirkan ulang aturan tersebut. Semua pihak harus tunduk pada ketentuan yang berlaku demi menjaga integritas negara hukum.
Ia juga menyerukan agar pengisian jabatan sipil dilakukan melalui mekanisme yang tepat. ASN yang profesional, berpengalaman, dan berkompeten harus diberi ruang untuk mengisi jabatan strategis. Reformasi birokrasi tidak akan berjalan jika proses pengisian jabatan justru melanggar aturan yang dibuat negara sendiri.
Penutup: Momentum untuk Perbaikan Tata Kelola Pemerintahan
Pernyataan Hasanuddin dan putusan MK membuka kembali ruang diskusi yang penting. Pemerintah diharapkan memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat tata kelola pemerintahan. Kepatuhan terhadap aturan adalah fondasi utama negara hukum. Tanpa itu, kepercayaan publik ikut tergerus.
Dengan tidak menempatkan polisi aktif di jabatan sipil, pemerintah bukan hanya mematuhi UU, tetapi juga menjaga semangat reformasi. Konsistensi inilah yang menjadi kunci agar birokrasi semakin profesional, transparan, dan bebas dari konflik kepentingan.

Cek Juga Artikel Dari Platform radarjawa.web.id
