Tradisi Lama yang Kini Jadi Masalah
koronovirus.site – Pemandangan sofa usang, mesin cuci rusak, hingga tumpukan pakaian bayi di tepi jalan sudah lama menjadi bagian khas kota Berlin. Di banyak sudut kota, barang-barang bekas itu sering ditinggalkan dengan label “zu verschenken” yang berarti gratis untuk diambil.
Bagi sebagian orang, kebiasaan ini dianggap sebagai bentuk solidaritas sekaligus mendukung konsep keberlanjutan. Eno Thiemann, seorang musisi Berlin, bahkan menemukan beberapa buku karya Haruki Murakami favoritnya di antara tumpukan barang gratis tersebut.
“Saya senang ketika kembali ke Berlin dan melihat budaya ini masih ada. Menurut saya ini membantu lingkungan dan sesama,” ungkap Thiemann yang sempat meninggalkan Berlin selama tiga dekade.
Pemerintah Berlin Naikkan Denda
Namun, masa depan tradisi ini kini terancam. Pemerintah kota Berlin mengumumkan rencana untuk memberlakukan denda lebih berat bagi siapa saja yang meninggalkan barang di jalan.
Menurut juru bicara Departemen Lingkungan Berlin, meski semangat berbagi barang bekas adalah hal positif, praktik ini telah “berlebihan” dan sering berakhir menjadi masalah sampah kota. Pada 2024, pemerintah menghabiskan lebih dari €10,3 juta (sekitar Rp200 miliar) hanya untuk membersihkan sampah elektronik dan limbah konstruksi yang ditinggalkan di jalan.
“Label zu verschenken tidak membebaskan pemilik dari tanggung jawab terhadap barang yang dibuang,” tegas juru bicara tersebut.
Biaya Pembersihan yang Kian Membengkak
Data dari Berliner Stadtreinigungsbetriebe (BSR), perusahaan pengelola sampah kota, mencatat bahwa pada 2024 mereka membersihkan hingga 54.000 meter kubik sampah ilegal, meningkat 8% dibandingkan tahun sebelumnya.
Pihak berwenang menilai, selain warga, beberapa perusahaan konstruksi memanfaatkan kebiasaan ini untuk menghindari biaya pembuangan resmi dengan meninggalkan limbah di jalanan.
Denda Baru yang Lebih Tinggi
Untuk memberi efek jera, pemerintah Berlin akan menaikkan denda secara signifikan.
- Warga yang tertangkap meninggalkan pakaian, alat makan, atau furnitur bekas di distrik Friedrichshain-Kreuzberg dapat dikenai denda antara €150 hingga €300 (Rp3–6 juta). Sebelumnya, denda hanya berkisar €25–€75.
- Pembuangan barang berukuran besar seperti lemari es atau mesin cuci bisa berujung pada denda €1.000 hingga €15.000 (Rp19,5–290 juta). Sebelumnya batas maksimum denda hanya €5.000.
Juru bicara distrik menekankan bahwa sanksi baru ini diperlukan agar warga lebih bertanggung jawab terhadap limbah mereka.
Efektivitas Denda Masih Diragukan
Meski kebijakan ini tampak tegas, beberapa warga Berlin meragukan efektivitasnya.
“Bagaimana caranya menangkap pelaku ketika mereka hanya menaruh kasur bekas di malam hari?” kata Marianne Kuhlmann, pendiri Circularity, sebuah organisasi yang mendorong pengurangan limbah.
Thiemann menambahkan, “Sulit menemukan pelaku kecuali mereka meninggalkan identitas di barangnya.”
Alternatif Pembuangan yang Disediakan
Pemerintah Berlin melalui BSR mengimbau masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas pembuangan resmi.
Menurut Sebastian Harnisch, juru bicara BSR, warga dapat memanfaatkan 14 pusat daur ulang kota, toko barang bekas “NochMall”, atau layanan penjemputan ke rumah dengan biaya tertentu.
Selain itu, setiap distrik rutin mengadakan hari tukar-menukar barang, yang memungkinkan warga menyumbangkan atau menukar barang bekas secara legal.
Kekhawatiran Aktivis Zero Waste
Meski demikian, kebijakan ini menuai kekhawatiran di kalangan pegiat lingkungan.
“Banyak orang mungkin akan membuang barang yang masih layak pakai ke tempat sampah daripada bersusah payah membawanya ke pusat daur ulang karena takut kena denda,” kata Doris Knickmeyer, mentor Zero Waste City dari Berlin Zero Waste Verein.
Knickmeyer juga menilai, kebijakan ini dapat mematikan budaya berbagi yang telah lama menjadi bagian dari identitas Berlin.
Tantangan Daur Ulang di Berlin
Berlin telah menetapkan target ambisius: mendaur ulang 64% limbah konstruksi dan mengurangi volume sampah hingga 20% pada 2030. Namun, laporan OECD 2024 mengungkapkan ketergantungan Berlin pada pembakaran sampah masih tinggi, jauh tertinggal dibandingkan kota-kota Eropa lain seperti Madrid, Brussels, dan Kopenhagen yang mulai mengurangi pembangunan pabrik pembakar sampah.
Untuk mencapai targetnya, Berlin perlu menyeimbangkan antara kebijakan ketat dan inovasi yang mendorong partisipasi masyarakat.
Usulan untuk Jalan Tengah
Sebagai jalan tengah, Knickmeyer mengusulkan agar pemerintah menyediakan zona khusus “zu verschenken” di setiap lingkungan, sehingga warga tetap dapat berbagi barang bekas tanpa mengotori jalanan.
“Kita harus menemukan keseimbangan. Budaya ini memberi manfaat sosial, tapi kita juga tidak bisa menutup mata terhadap biaya besar untuk membersihkan sampah perkotaan,” ujarnya.
Penutup: Tradisi yang Terancam Punah
Budaya berbagi barang bekas gratis yang dulu dianggap sebagai wujud solidaritas warga Berlin kini menghadapi ujian besar. Denda yang lebih tinggi memang bisa menekan pembuangan ilegal, tetapi juga berpotensi mengikis tradisi yang selama ini membantu sirkulasi barang bekas.
Ke depan, tantangan Berlin adalah memastikan kebijakan lingkungan tetap efektif tanpa mengorbankan nilai-nilai komunitas yang telah lama menjadi ciri khas kota ini.
Cek juga artikel dari platform radarjawa

