Malam Panjang Jakarta yang Membeku
koronovirus.site – Rabu (24/9/2025) sore, ketika langit Jakarta mulai meredup, warga ibu kota menghadapi kenyataan pahit: jalanan utama berubah menjadi parkiran raksasa. Dari Slipi, Jalan Letjen S. Parman, hingga Gatot Subroto dan Semanggi, kendaraan nyaris tak bergerak sejak pukul 15.30 WIB. Baru menjelang tengah malam, sekitar pukul 23.00 WIB, kepadatan perlahan terurai.
Kota yang biasanya berdenyut dengan lalu lintas tanpa henti itu seakan kehilangan nadinya, menjelma menjadi lautan mesin yang terdiam. Deru klakson bersahut-sahutan, wajah-wajah lelah terlihat di balik kaca jendela, dan waktu terasa berjalan lebih lambat dari biasanya.
Biang Kerok: Penutupan Gerbang Tol Semanggi 1
Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Komarudin, menjelaskan bahwa penyebab utama kemacetan panjang ini adalah penutupan Gerbang Tol (GT) Semanggi 1. Gerbang tol tersebut masih dalam tahap perbaikan setelah dibakar oleh orang tak dikenal saat aksi unjuk rasa Agustus lalu.
“Kemacetan ini dampak karena Gerbang Tol Semanggi 1 saat ini ditutup untuk beberapa hari ke depan,” ujar Komarudin.
Harapan warga untuk menggunakan GT Semanggi 2 sebagai alternatif pun pupus. Dari beberapa gardu yang tersedia, hanya satu gardu yang beroperasi, sehingga antrean menumpuk.
Efek Domino ke Jalan Arteri
Kondisi diperparah oleh kendaraan yang saling serobot jalur arteri demi bisa masuk tol. Aksi berebut jalur ini justru membuat tumpukan semakin sesak. Banyak pengendara akhirnya memilih beralih menuju GT Kuningan, namun antrean panjang sudah lebih dulu menanti di sana.
Komarudin menambahkan, arus lalu lintas dari arah Bandara Soekarno-Hatta juga terkena imbas. “Tol yang dari arah Bandara itu tersumbat di off ramp keluaran Semanggi. Ini karena jalan arterinya tidak bergerak,” jelasnya.
Dampak kemacetan pun merembet ke Palmerah, Cideng, Petamburan, hingga Tanah Abang. Wilayah-wilayah yang biasanya menjadi jalur alternatif justru ikut lumpuh karena banjir kendaraan.
Transjakarta Tak Luput dari Jeratan
Transportasi umum yang menjadi andalan warga, Transjakarta, ikut terjebak. Puluhan bus tertahan di jalur utama, membuat ribuan penumpang kecewa dan memilih turun untuk berjalan kaki.
Bagi banyak pekerja, perjalanan pulang yang seharusnya memakan waktu 1–2 jam berubah menjadi 5–6 jam. Ada pula yang akhirnya terpaksa bermalam di kantor karena tak kunjung bisa keluar dari kemacetan.
Suara dari Jalanan
Sejumlah warga mengisahkan pengalaman mereka malam itu. Rudi (35), seorang pengemudi ojek online, mengaku tak bisa menerima order selama lebih dari tiga jam karena motornya terjebak di Palmerah. “Biasanya 30 menit ke Sudirman, ini 3 jam nggak gerak,” keluhnya.
Sementara itu, Mira (28), karyawan swasta, mengatakan perjalanan pulangnya dari Slipi ke Bekasi memakan waktu hampir delapan jam. “Saya naik bus Transjakarta. Setengah jalan saya turun dan jalan kaki ke halte berikutnya. Rasanya capek banget, tapi kalau diam di bus nggak tahu sampai jam berapa,” tuturnya.
Malam Penuh Pelajaran
Kemacetan horor di Slipi-Semanggi ini menjadi pengingat bahwa infrastruktur vital seperti gerbang tol harus dikelola dengan lebih sigap. Penutupan tanpa persiapan jalur alternatif yang memadai bisa menimbulkan efek domino yang melumpuhkan aktivitas jutaan orang.
Jakarta memang bukan asing dengan macet, tetapi malam panjang 24 September 2025 akan diingat sebagai salah satu episode paling menyesakkan.
Penutup
Malam itu, Jakarta benar-benar membeku. Dari pekerja kantoran, sopir ojek, hingga penumpang Transjakarta, semua merasakan frustrasi yang sama: terjebak di jalan yang tak bergerak.
Kemacetan bukan hanya soal waktu yang terbuang, melainkan juga soal energi, emosi, dan produktivitas yang hilang. Semoga peristiwa ini menjadi titik refleksi agar solusi transportasi Jakarta tak hanya reaktif, tetapi juga preventif dan berkelanjutan.
Cek juga artikel paling baru dan paling update di jelajahhijau

