Petaka Ragasa Mengguncang Asia Timur
koronovirus.site – Topan Super Ragasa menjadi bencana besar yang melanda tiga negara tetangga Indonesia, yakni China, Taiwan, dan Filipina. Angin dengan kecepatan lebih dari 200 km/jam menghantam kawasan padat penduduk, memaksa jutaan orang mengungsi, memutus aliran listrik, merusak bangunan, hingga menelan puluhan korban jiwa.
Laporan berbagai media internasional pada Kamis (25/9/2025) menyebutkan bahwa dampak topan ini terasa sangat parah, membuat kota-kota lumpuh dalam hitungan jam.
China: Hong Kong dan Guangdong Terhantam
Di China selatan, lebih dari 1,9 juta orang dievakuasi. Provinsi Guangdong, yang dihuni puluhan juta warga, dilanda Ragasa dengan angin berkecepatan hingga 145 km/jam.
Pohon-pohon tumbang, rambu jalan roboh, dan bangunan rusak berserakan di jalanan kota Yangjiang. Warga bekerja keras membersihkan puing dengan kondisi listrik padam di banyak permukiman.
Seorang pekerja restoran, Lin Xiaobing (50), mengaku kaget dengan kekuatan badai. “Anginnya sangat kencang, semuanya hancur. Atap restoran kami runtuh total,” ujarnya.
Di Hong Kong, ratusan pohon tumbang, banjir melanda beberapa distrik, dan lebih dari 1.000 penerbangan terganggu. Sekitar 101 orang dirawat di rumah sakit, sementara lebih dari 900 orang mengungsi ke 50 penampungan darurat.
Badan Meteorologi Hong Kong bahkan menyebut Ragasa sebagai topan terkuat di Pasifik barat laut tahun ini, dengan peringatan tertinggi yang berlaku lebih dari 10 jam.
Taiwan: Banjir Bandang dan Korban Jiwa
Taiwan menjadi negara yang paling parah terdampak. Topan ini memicu jebolnya sebuah danau di wilayah Hualien, menyebabkan banjir bandang yang menghanyutkan jembatan dan merendam kota Guangfu.
Hingga Kamis sore, 14 orang tewas dan 22 orang hilang, sementara puluhan lainnya terluka. Lebih dari 3.200 orang dievakuasi dan sekitar 1.200 warga berlindung di penampungan.
Seorang warga, Chuan Kun-jui, pemilik kios daging, mengaku kehilangan hampir seluruh barang dagangannya. “Tiga mesin pendingin, dua kios, oven, bahkan kulkas rumah hancur diterjang banjir,” ujarnya sambil menyekop lumpur di dekat kiosnya.
Di tempat penampungan gereja, warga bergantung pada bantuan makanan dan air minum kemasan karena pasokan air bersih terputus. Maggie Huang, pengelola usaha wisata, mengaku keluarganya bahkan tidak bisa mandi karena tangki air kosong. “Kami hanya bertahan dengan air hujan. Tidak ada pilihan lain,” katanya.
Filipina: Jadi Daratan Pertama yang Disapu
Filipina adalah negara pertama yang diterjang Ragasa sebelum badai bergerak ke Taiwan dan China. Pada Senin (22/9/2025), angin maksimum mencapai 205 km/jam dengan hembusan hingga 250 km/jam.
Pemerintah menutup sekolah dan kantor di Metro Manila serta 29 provinsi lainnya. Setidaknya delapan orang tewas akibat badai, sebagian besar di pulau-pulau terpencil yang sulit dijangkau tim penyelamat.
Menteri Dalam Negeri Filipina, Jonvic Remulla, mendesak pejabat lokal segera mengevakuasi keluarga dari zona bahaya. Filipina, yang setiap tahun dilanda rata-rata 20 topan, memang menjadi negara yang paling rentan terhadap siklon Pasifik.
Para ilmuwan memperingatkan bahwa badai semakin kuat akibat perubahan iklim, dengan pemanasan laut memperbesar intensitas topan yang melanda kawasan Asia Tenggara dan Pasifik.
Gelombang Besar Ancaman Iklim
Topan Ragasa menunjukkan bagaimana bencana alam lintas negara bisa memukul ekonomi dan kehidupan sosial sekaligus. Dari pusat keuangan Hong Kong yang lumpuh, wilayah Taiwan yang banjir besar, hingga ribuan rumah di Filipina yang hancur, dampak badai terasa masif.
Selain korban jiwa, kerugian material diperkirakan mencapai miliaran dolar AS. Banyak warga kehilangan rumah, usaha, hingga pasokan air bersih.
Penutup
Topan Super Ragasa telah meninggalkan jejak kehancuran di tiga negara sekaligus: China, Taiwan, dan Filipina. Jutaan orang mengungsi, puluhan meninggal dunia, dan infrastruktur hancur.
Peristiwa ini menjadi pengingat keras bahwa kawasan Asia Pasifik adalah salah satu wilayah paling rawan bencana iklim. Kesiapsiagaan, kerja sama internasional, serta komitmen terhadap mitigasi perubahan iklim menjadi kunci agar tragedi serupa tidak terus menelan korban.
Cek juga artikel paling top di musicpromote.online

