koronovirus.site Guru besar hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, menyoroti fenomena maraknya foto warga yang diunggah dan dijual melalui aplikasi berbasis artificial intelligence (AI). Menurutnya, praktik ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum apabila dilakukan tanpa izin dari pihak yang ada di dalam foto.
Fenomena tersebut mulai merebak seiring meningkatnya penggunaan teknologi pengenalan wajah atau face recognition. Banyak fotografer kini mengunggah foto hasil jepretan mereka, terutama dari acara publik seperti marathon, fun run, hingga kegiatan olahraga kota, ke platform digital yang dilengkapi AI untuk mengidentifikasi wajah seseorang.
Melalui sistem tersebut, peserta atau warga yang pernah difoto bisa mencari dan membeli foto dirinya hanya dengan mengunggah gambar wajah. Namun, di balik kemudahan itu, muncul persoalan serius mengenai hak privasi dan kepemilikan data pribadi.
Praktik Komersialisasi Data Tanpa Izin
Menurut Suparji, kegiatan mengunggah dan menjual foto seseorang tanpa persetujuan bisa bertentangan dengan aturan hukum, terutama Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
“Jika seseorang memanfaatkan wajah orang lain tanpa izin untuk kepentingan komersial, maka ada potensi pelanggaran hukum. Wajah termasuk data pribadi yang dilindungi oleh undang-undang,” tegasnya.
Ia menambahkan, dalam konteks hukum pidana, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan data pribadi, terutama jika dilakukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. “Hukum kita sudah tegas soal ini. Penggunaan data pribadi harus berdasarkan persetujuan eksplisit dari pemiliknya,” ujar Suparji.
Dengan kata lain, fotografer atau pengelola aplikasi wajib memastikan bahwa setiap individu yang muncul di foto telah memberikan izin eksplisit sebelum foto mereka diunggah dan dijual.
Kecanggihan AI Tidak Boleh Abaikan Etika
Selain aspek hukum, fenomena ini juga menimbulkan dilema etika digital. Banyak pengguna mungkin tidak sadar bahwa foto mereka telah diambil, diproses, dan diunggah oleh sistem berbasis AI tanpa pemberitahuan apa pun.
Menurut Suparji, di era digitalisasi saat ini, teknologi memang berkembang pesat. Namun, penggunaan AI tetap harus memperhatikan prinsip-prinsip moral dan hak asasi manusia. “Kemajuan teknologi seharusnya tidak mengorbankan hak individu. Privasi seseorang tetap harus dijaga,” jelasnya.
Selain itu, penggunaan algoritma pengenalan wajah juga berisiko menimbulkan penyalahgunaan. Data wajah yang tersimpan di server aplikasi bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain seperti profiling, penipuan digital, atau bahkan deepfake jika tidak diawasi dengan ketat.
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya transparansi dalam pengelolaan data. “Aplikasi atau platform yang mengandalkan AI harus menjelaskan secara terbuka bagaimana data dikumpulkan, digunakan, dan disimpan,” tambahnya.
UU PDP dan Perlindungan Hukum bagi Masyarakat
Sejak diberlakukannya UU Perlindungan Data Pribadi, Indonesia sebenarnya sudah memiliki dasar hukum yang kuat untuk menindak praktik semacam ini. Dalam aturan tersebut, data pribadi didefinisikan sebagai setiap informasi yang dapat mengidentifikasi seseorang, termasuk wajah, nama, alamat, hingga ekspresi biometrik.
Pihak yang mengelola data wajib memperoleh persetujuan eksplisit dari pemilik data sebelum melakukan pengolahan atau penyebaran. Jika melanggar, pelaku bisa dikenai sanksi administratif maupun pidana.
“UU PDP memberikan perlindungan yang cukup komprehensif. Tapi implementasinya masih jadi tantangan. Banyak masyarakat belum memahami hak-haknya terkait data pribadi,” ujar Suparji.
Ia pun mendorong pemerintah dan aparat penegak hukum untuk aktif melakukan sosialisasi agar masyarakat lebih waspada terhadap praktik pengumpulan data yang tidak sah.
Tantangan Penegakan Hukum di Era Digital
Meski regulasi sudah ada, Suparji mengakui bahwa penegakan hukum di dunia digital masih memiliki banyak kendala. Salah satu tantangan utama adalah sulitnya melacak pelaku di balik platform atau aplikasi berbasis luar negeri.
“Banyak aplikasi AI beroperasi dari luar yurisdiksi Indonesia. Artinya, proses hukum terhadap pelaku bisa menjadi rumit,” ungkapnya.
Selain itu, belum adanya lembaga pengawas independen yang kuat membuat perlindungan data pribadi di Indonesia masih lemah. Padahal, UU PDP telah mengamanatkan pembentukan otoritas perlindungan data yang berfungsi mengawasi dan memberi sanksi atas pelanggaran.
“Selama belum ada lembaga yang berwenang penuh, penegakan hukum akan sulit dilakukan secara konsisten,” jelas Suparji.
Dampak Sosial: Antara Kenyamanan dan Risiko Privasi
Fenomena penjualan foto warga lewat aplikasi AI menunjukkan bagaimana masyarakat kini hidup di era keterbukaan digital. Di satu sisi, teknologi ini memberikan kemudahan bagi pengguna yang ingin menemukan dokumentasi pribadinya dengan cepat.
Namun, di sisi lain, banyak orang justru merasa tidak nyaman karena foto mereka bisa tersebar luas tanpa kendali. Apalagi jika foto tersebut digunakan untuk tujuan komersial tanpa persetujuan.
Beberapa korban bahkan melaporkan bahwa wajah mereka muncul di situs-situs yang tidak mereka kenal, lengkap dengan data lokasi dan waktu pengambilan gambar. Situasi ini tentu bisa mengancam keamanan pribadi dan reputasi seseorang.
“Kalau data pribadi seseorang digunakan tanpa izin, apalagi untuk tujuan ekonomi, maka sudah seharusnya ada tindakan hukum,” tegas Suparji.
Pentingnya Literasi Digital bagi Masyarakat
Sebagai penutup, Suparji menekankan pentingnya literasi digital agar masyarakat lebih paham hak dan kewajibannya di dunia maya. Ia mengimbau masyarakat untuk berhati-hati mengunggah atau memberikan izin penggunaan wajah di platform digital.
Selain itu, pengguna juga perlu membaca syarat dan ketentuan (terms and conditions) sebelum menggunakan aplikasi berbasis AI. Banyak kasus pelanggaran privasi terjadi karena pengguna tidak menyadari bahwa mereka telah memberi izin penuh kepada sistem untuk mengakses dan mengelola data pribadi.
“Jangan mudah mengunggah foto tanpa tahu bagaimana data itu digunakan. Sekali data masuk ke sistem AI, sulit untuk dikendalikan,” pungkasnya.
Fenomena unggah foto warga di aplikasi AI ini menjadi pengingat bahwa di tengah kemajuan teknologi, perlindungan privasi dan etika digital harus tetap dijunjung tinggi. Hukum dan kesadaran publik harus berjalan beriringan agar kemajuan teknologi tidak mengorbankan hak-hak dasar manusia.

Cek Juga Artikel Dari Platform wikiberita.net
