koronovirus.site Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi mendapat kritik tajam dari sejumlah warga Malaysia setelah berziarah ke Pemakaman Jepang di Kuala Lumpur. Kunjungan itu dilakukan di sela kunjungan kenegaraan dalam rangka menghadiri konferensi tingkat tinggi ASEAN.
Namun, langkahnya memicu perdebatan publik. Banyak warga menilai ziarah tersebut tidak sensitif terhadap sejarah kelam masa pendudukan Jepang di Malaysia pada masa Perang Dunia II.
Dalam pernyataan resmi, Kementerian Luar Negeri Jepang menyebut kunjungan itu sebagai bentuk penghormatan kepada warga negara Jepang yang gugur di luar negeri. Mereka menegaskan tidak ada maksud politik di balik kegiatan tersebut.
Kritik Warga Malaysia
Kunjungan tersebut langsung memicu reaksi keras di Malaysia. Beberapa aktivis menilai tindakan itu dapat dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap pasukan penjajah yang pernah menimbulkan penderitaan besar di wilayah tersebut.
“Bagi kami, kunjungan itu sangat tidak pantas. Banyak keluarga di sini masih menyimpan trauma atas kekejaman tentara Jepang,” ujar seorang aktivis sejarah Malaysia.
Di media sosial, ribuan komentar bermunculan. Banyak warganet menyebut langkah Takaichi sebagai tindakan yang tidak peka secara diplomatik. Bahkan, ada yang menganggap kunjungan itu sebagai upaya halus untuk melupakan kejahatan perang Jepang di Asia.
Selain itu, beberapa organisasi masyarakat sipil menyerukan agar pemerintah Malaysia menyampaikan protes resmi kepada Jepang. Mereka menilai pemimpin Jepang seharusnya memberikan penghormatan kepada korban perang, bukan kepada pasukan yang menyebabkan penderitaan.
Respons Pemerintah Jepang
Menanggapi kontroversi tersebut, pemerintah Jepang menegaskan bahwa kunjungan Takaichi tidak bermuatan politik. “Perdana Menteri Takaichi hanya ingin memberikan penghormatan kepada mereka yang meninggal dunia, tanpa melihat latar belakang militer atau politik,” bunyi pernyataan resmi dari Tokyo.
Namun, pernyataan itu tidak sepenuhnya menenangkan masyarakat Malaysia. Banyak pihak berpendapat bahwa Jepang masih belum benar-benar mengakui penderitaan yang dialami oleh rakyat Asia Tenggara akibat tindakan militernya di masa lalu.
Sejumlah pengamat hubungan internasional bahkan menilai bahwa tindakan semacam ini seharusnya dihindari, terutama di negara yang memiliki sejarah traumatis dengan Jepang.
Isu Sejarah yang Masih Sensitif
Pendudukan Jepang di kawasan Asia Tenggara, termasuk Malaysia, memang meninggalkan luka mendalam. Pada masa itu, banyak warga lokal yang dipaksa bekerja tanpa upah, menderita kekerasan, dan kehilangan anggota keluarga.
Oleh karena itu, setiap tindakan simbolik pejabat Jepang yang berkaitan dengan militer selalu menimbulkan reaksi keras. “Isu sejarah selalu sensitif. Jepang perlu lebih hati-hati dalam setiap langkah diplomatiknya,” kata Prof. Ahmad Rahman, pengamat dari Universiti Malaya.
Menurutnya, Jepang seharusnya menempatkan empati dan rekonsiliasi sebagai bagian dari diplomasi luar negerinya. “Kalau tujuannya perdamaian, semestinya mereka juga mengunjungi monumen korban perang, bukan hanya makam tentaranya,” ujarnya menambahkan.
Sikap Pemerintah Malaysia
Pemerintah Malaysia sendiri memilih untuk tidak memberikan pernyataan resmi yang keras. Namun, beberapa pejabat menyarankan agar Jepang menunjukkan sikap lebih empatik.
“Jika kunjungan itu disertai penghormatan kepada korban lokal, tentu publik akan menilainya berbeda,” kata seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Malaysia.
Sikap hati-hati ini dianggap wajar. Hubungan ekonomi antara kedua negara selama ini cukup erat. Jepang menjadi salah satu mitra dagang terbesar Malaysia dan banyak berperan dalam proyek pembangunan infrastruktur.
Meski begitu, pemerintah diharapkan tetap memperhatikan perasaan rakyat yang masih menyimpan kenangan buruk atas masa lalu.
Reaksi dari Pengamat dan Media
Media lokal Malaysia menyoroti kunjungan Takaichi dengan berbagai sudut pandang. Sebagian media menilai bahwa tindakan tersebut memperlihatkan kurangnya pemahaman Jepang terhadap konteks sejarah di Asia Tenggara.
Sementara itu, analis politik internasional dari Tokyo, Kenji Morimoto, mengatakan Jepang menghadapi dilema antara menjaga tradisi dan menghormati sensitivitas negara lain. “Bagi Jepang, berziarah ke makam para korban perang adalah hal biasa. Tetapi di mata negara yang pernah dijajah, itu bisa dianggap penghinaan,” jelasnya.
Menurut Morimoto, Jepang harus lebih proaktif dalam menunjukkan pesan perdamaian setiap kali melakukan kunjungan ke luar negeri. Dengan cara itu, setiap gestur simbolik tidak akan disalahartikan oleh negara lain.
Jepang dan Bayang-Bayang Masa Lalu
Meskipun Jepang telah lama bertransformasi menjadi negara demokratis dan damai, bayang-bayang masa lalu tetap menghantui hubungan diplomatiknya dengan negara-negara Asia.
Setiap kali ada pejabat Jepang mengunjungi tempat yang berkaitan dengan militer, kontroversi hampir selalu muncul. Kasus Takaichi di Malaysia menunjukkan bahwa luka sejarah belum sepenuhnya sembuh.
Selain itu, sejumlah negara seperti Korea Selatan dan Tiongkok juga kerap bereaksi keras ketika pejabat Jepang berziarah ke Kuil Yasukuni, tempat disemayamkannya prajurit Jepang termasuk pelaku kejahatan perang.
Kondisi ini menggambarkan betapa rumitnya hubungan antara memori sejarah, diplomasi, dan nasionalisme.
Penutup: Diplomasi di Tengah Luka Sejarah
Kunjungan Perdana Menteri Sanae Takaichi ke makam tentara Jepang di Malaysia menegaskan bahwa isu masa lalu belum benar-benar usai.
Bagi Jepang, langkah itu mungkin bentuk penghormatan terhadap warganya. Namun bagi banyak warga Malaysia, tindakan tersebut dianggap menyakiti memori kolektif bangsa.
Untuk ke depan, para pengamat sepakat bahwa Jepang perlu menempuh langkah diplomatik yang lebih sensitif dan empatik. Setiap kunjungan kenegaraan sebaiknya disertai pesan perdamaian dan penghargaan terhadap semua pihak yang menjadi korban perang.
Hanya dengan cara itu, Jepang bisa benar-benar meninggalkan masa lalu dan memperkuat citranya sebagai negara yang menjunjung tinggi perdamaian dunia.plomatik yang lebih sensitif, empatik, dan berorientasi pada perdamaian di masa depan.

Cek Juga Artikel Dari Platform jelajahhijau.com
